Sabtu, 16 November 2013

Cerpen HIV AIDS "ODHA..."


Bagaimana hidup itu dikatakan benar-benar indah? Langit tampak biru terang di tengah hari yang terasa tampak menyengat namun tidak baginya. Sembunyi dibalik bayangannya sendiri membuat ia kehilangan semuanya. Wanita berusia 28 tahun jatuh melemas setiap kali membayangkannya, membuatnya kian pasrah tak berdaya. Hampir setahun sudah ia mengetahui banyak yang berubah. “Aku mencintainya, namun apa yang ia telah lakukan kepadaku?” deru dalam hatinya sambil tak kuasa menangis. Sudah lelah ia berteriak tak terima apa yang terjadi kepada dirinya. Namun tetap saja amarahnya tak merubah apapun untuk seperti semula kembali.
Entah apa yang terjadi, memang dua setengah tahun sudah ada yang tidak beres dalam keluarganya ini. Mikha Damayanti sang istri dari Arsitektur handal Ir. Yoki Pratama tak sempat berfikir bahwa Yoki membuat pengakuan yang amat memilukan. “Maafkan aku Nik. Maafkan aku!”. Yoki terus meminta maaf kepada Mikha berlutut memohon-mohon ampun atas kesalahannya. “Aku akan antarkan kamu untuk diperiksakan kedokter sekarang juga.” ujar Yoki. Setiba sampai dirumah sakit Mikha meminta kepada Yoki “Rakha juga! Aku menyusuinya.. Dia juga harus diperiksa.”
Mikha juga sedang mengandung dua minggu dan sudah diketahui oleh yoki empat hari yang lalu. Mikha dan rakha segera diperiksa. Lalu setelah beberapa lama  menunggu hasil pemeriksaan keluar dan ternyata menunjukan hasilnya positif, mereka berdua positif mengidap HIV. Rakha Pratama jagoan kecil mereka jelas saja tertular karena ternyata Mikha masih menyusui anaknya karena ia ingin menyusui ekslusif sampai dua tahun. Mengetahui hal ini menusuk jantung Yoki ternyata mereka ikut tertular olehnya. Penyesalan dan berjuta maaf terus diucapkan lelaki berbadan tegap itu. Bukan.. bukan karena pengakuannya yang telah menghianatinya dengan “banyak wanita lain” dan  menyebabkan penyakit itu tumbuh namun kali ini karena kesalahan fatalnya, kesalahan yang membuat mereka ikut dalam kesalahan Yoki.
Mikha hanya memilih diam karena menyadari pertengkarannya hanya akan sia-sia. Setelah diam sejenak Mikha berkata “Apa salahku Yoki?” memandang tajam sambil menangis kepada Yoki. “Apa salahku Tuhan? Dan apa dosa ku hingga kau ijinkan ini terjadi kepadaku? Bagaimana dengan anakku dan bagaimana dengan janinku? Hukumankah atau cobaan darimu Tuhan? Ini sangat berat bagiku! Mengapa aku? Mengapa aku Tuhan!” berteriak sambil tak kuasa menahan tangisnya.
Saat memeriksakan, diruang konsultasi dokter sempat berkata  “Masih ada harapan agar janin Mikha terhindar dari penyakit ini. Kita bisa melakukan pencegahan Transmisi HIV AIDS dari Ibu ke Janin. Kami akan melakukan yang terbaik, namun hal ini tidak mudah. Dibutuhkankan kesabaran yang cukup luar biasa dan biayanya tidak sedikit.” terkejutnya Yoki mendengar dan  bertekad akan melakukan apapun untuk menebus semua kesalahannya sedangkan Mikha tetap diam karena terlalu terkejut akan hal yang baru ia menimpanya. “Janin istri saya bisa selamat dari penyakit ini dok? Kalau begitu lakukan apapun untuk calon bayi di kandungan istri saya dokter!” tegas Yoki. Setidaknya ia berpikir bahwa masih ada yang bisa ia selamatkan dari kesalahannya ini. Walau begitu tetap saja Yoki terus merasa bersalah karena bencana yang ia bawa tak akan bisa menyembuhkan istri dan anaknya.
Hari kian malam dan mereka sudah tiba dirumah. Yoki bergegas ke ruang kerjanya dirumah bukan untuk mengerjakan pekerjaan tapi merenung apa yang harus ia lakukan setelah ini. Sebaliknya Mikha duduk dan menangis dikamar. Hari ini begitu hari paling buruk yang pernah ia alami. Jika waktu bisa ia putar tak akan pernah ia ingin menjadi istri arsitektur yang berujung naas seperti ini.  Rasa ingin cepat mengakhiri hidupnya makin mengiang dikepalanya tapi memikirkan bocah mungil yang baru berusia 1 tahun 1 bulan membuatnya terus berpikir beribu kali. Sanggup atau tidak mikha melewatinya iapun kehabisal akal untuk memikirkannya. Berat.. sungguh yang paling berat yang pernah ia alami. “Menyerah apa memang sampai sini saja hidupku ini?” ucap Mikha sambil terus menangis.
Melihat ibunya yang terus menangis. Rakha dengan tingkah polosnya menghampiri Mikha sambil berlari  “Mama.. mama anan nanis agi..” Mikha meraih Rakha dan seketika Rakha dengan pintarnya menghapus air mata di wajah sang ibu seakan tahu kegelisahan apa yang dirasakan ibunya. Mikha membalas dengan tersenyum lebar menahan tangis dan memeluk Rakha sangat erat. “Mama menangis bahagia karena punya anak sepintar Rakha.” ucap Mikha dengan suara yang lembut. “Aka ayang mama, anan anis agi ya..” sekali lagi anak itu berkata dengan polos namun dengan suara yang lebih pelan. “Iya sayang mama gak nangis lagi.” sambil tersenyum menatap Rakha. Mika berdiri dan menggendong Rakha ke kasur “Sudah malam, kita bobo ya.” tak lama Mikha memandangi rakha yang sudah tertidur pulas dipelukannya. Air mata tetap jatuh dengan sendirinya, anak yang benar-benar tidak berdosa harus mengalami hal buruk seumur hidupnya.
Keesokan harinya, Yoki yang awam akan HIV AIDS walaupun ia menderita HIV terus mencari tahu apa itu HIV AIDS. Bagaimana penanganannya, segala sesuatu yang behubungan dengan HIV AIDS. Terlebih lagi dia harus mencari tahu tentang Pencegahan Transmisi HIV AIDS dari Ibu ke Janin yang diucapkan dokter kemarin. “Aku harus menebus semua kesalahanku, aku harus lakukan apapun demi kebaikan istri dan anakku.” ucap Yoki dalam hati. Ia sudah mengumpulkan semua data dan semua informasi mengenai itu semua. Yoki bergegas menemui Mikha “Mik, aku akan mengurusmu dan Rakha mulai sekarang, aku akan terus memperhatikan dan menjaga kalian. Aku tidak mau hal buruk terjadi kepadamu dan Rakha.” Ujar Yoki. Tak ada yang bisa Mikha katakan, Mikha tidak tau harus berlaku apa lagi. Rasa frustasinya masih membebani pikirannya, ia masih belum bisa terima apa yang terjadi kepada dirinya sendiri. Yoki memegang jemari Mikha “Mikha.. Aku mohon kepadamu, jangan membuat dirimu diam terus seperti ini. Jangan buat dirimu stres, kamu sedang mengandung Mik.” tegas Yoki memohon kepada Mikha. “Apa yang kamu katakan barusan! Jangan buat diriku stres sendiri. Dimana otakmu Yok? kamu pikir ini mudah bagiku? Apa kamu pikir, aku bisa santai mengetahui diriku ini ODHA(Orang Dengan HIV AIDS)!” ujar Mikha dengan nada yang semakin keras. “Iya aku mengerti, aku mengerti Mikha. Tapi aku mohon kepadamu.. Kali ini biarkan aku menebus kesalahanku. Jika aku bisa menyembuhkanmu dengan menukarkan nyawaku. Aku akan lakukan itu... Aku akan lakukan apapun Mikha.” berbicara sambil berkaca-kaca memandang Mikha. Sekali lagi Mikha hanya tetap diam. Mikha benar-benar tidak tahu yang dihadapannya sekarang masih bisa ia sebut suaminya atau bukan.
Setelah seharian penuh Mikha memikirkan semua yang telah terjadi. Sambil mengelus-ngelus perutnya yang belum terlihat terlalu buncit karena masih baru berusia dua minggu. Mikha terus mengingat apa yang diucapkan suaminya pagi kemarin. Penyesalan yang amat besar yang amat ingin Yoki tebus dan terus memohon ampun kepadanya, mikha mulai menjernihkan pikirannya walaupun bagai hukuman buatnya tapi ia berpikir mungkin Tuhan sedang mengujinya. Malamnya, Mikha berbicara kepada Yoki “Baik.. aku akan bertahan demi Rakha dan janinku ini. Aku juga akan melakukan pemeriksaan rutin seperti yang diucapkan dokter waktu itu.” Yoki tersenyum lebar dan memeluk Mikha.
Dan sejak saat itu Mikha mulai melakukan PMPCT (Prevention of mother-to-child transmission) atau Pencegahan Transmisi HIV AIDS dari Ibu ke Janin/Bayi, Akses Konseling, dan Pelayanan Tes HIV. Untuk melakukan hal itupun dibutuhkan biaya yang tidak sedikit, untungnya keluarga ini tergolong keluarga kaya karena itu tidak terlalu pusing memikirkan hal yang memakan biaya besar. Setiap harinya mereka sekeluarga juga harus rutin mengonsumsi obat agar si virus tidak menjadi resisten. Si kecil pun meminum obat dengan cara digerus dan sirup, serta Mikha rutin check-up ke dokter mengikuti segala perintah dokter untuk kegiatan Pencegahan Transmisi HIV AIDS ke Janin itu.

Mikha duduk diteras dengan mata sayu sambil menatap sepasang burung yang sedang berkicau seakan berbincang pada sekitar alam luas, membuatnya iri akan bisa hidup bebas dan bahagia seperti itu. Terhitung sudah hampir empat bulan ia menjalani sebagai ODHA, merasa jenuh karena setiap hari harus meminum obat, merasa lelah mengikuti kegiatan dokter demi janinnya itu, merasa pilu melihat anaknya hidup sama sepertinya. “Bagaimana anakku nanti? Apa dia bisa hidup normal mempunyai banyak teman seperti yang lainnya?” hati Mikha terus berbicara menanyakan hal itu.
Sekarang mereka sudah mulai mendapat stigma negatif dari masyarakat sekitar. Entah darimana, banyak yang mengetahui bahwa mereka itu ODHA. Mungkin sempat tetangga mendengar kalimat HIV AIDS atau karena melihat banyak perubahan yang terlihat dari gejala maupun efek penyakit hiv terhadap keluarga Mikha. Sempat tentangganya mencemooh dan melarang anak mereka bermain dengan Rakha, hal itu membuat Mikha semakin sedih tak karuan. Mikha tau akan seperti ini resikonya karena itu ia lebih memilih menutup diri untuk tidak keluar dari rumah dan tetap memfokuskan kepada dirinya, anaknya, serta kandungannya.
Akhir-akhir ini, Yoki terlihat sangat lesu. Wajahnya semakin terlihat pucat setiap hari. Ia terlalu lelah mengurusi istri dan anaknya sampai-sampai ia lupa mengurusi dirinya sendiri yang juga sama mempunyai penyakit itu. Yang hanya dipikirannya hanya istri dan anaknya saja. Selang beberapa hari ia mulai sakit-sakitan tapi sebisa mungkin ia menutupi rasa sakitnya didepan sang istri, ia tak mau semakin menyusahkan Mikha yang perutnya sudah semakin membesar. Iapun menemui dokter dan memeriksakan keadaan dirinya, tanpa disangka dokter mengatakan HIV yang di derita Yoki sudah menyebabkan AIDS. Entah apa bedanya HIV atau AIDS ia benar-benar awam untuk tahu detail mengenai itu. Saat mencari tahu tentang HIV AIDS waktu itu, ia hanya fokus mengenai PMTCT. Tapi yang ia tahu bahwa jika penyakitnya telah berubah menjadi AIDS tamatlah riwayatnya, bagaikan kematian benar-benar ada didepan matanya sekarang.
Malam ini suasana begitu hening, tak ada suara televisi karena Rakha sudah tertidur pulas. Mikha ingin mengambil segelas air, saat berjalan menuju dapur ia melihat ruang kerja Yoki terbuka. Ia merasa Yoki pasti terlalu lelah mengurusi dirinya dan Rakha tetapi tetap bekerja demi mencukupi kebutuhan mereka. Saat memasuki ruangan itu, tiba-tiba Mikha berlari dan menghampiri Yoki “Yoki, bangun! Mengapa kamu dingin sekali? Kamu tidak bisa meninggalkan aku terlebih dahulu seperti ini. Yoki kamu masih harus menepati janjimu. Yoki bangun!” merintih menangis sambil memegang Yoki yang sudah terbujur kaku dilantai.
Sebulan sudah setelah kematian Yoki. Mikha ternyata tidak menyerah dan frustasi seperti pertama kali ia tahu dirinya positif HIV. Mikha sangat kehilangan dan berduka tapi entah mengapa ia berpikir harus tetap bertahan dan melanjutkan hidupnya bersama Rakha. Mikha  juga ingat Yoki memintanya untuk tetap bertahan dan semangat hidup. Dan mungkin juga karena dukungan orang tua Mikha, karena nyatanya hanya orang tuanya yang mengerti dan menerima Mikha, hanya mereka keluarga yang mendukung Mikha hingga tetap tegar. Dukungan keluarga sangatlah penting bagi ODHA untuk bisa bertahan dan melalui penyakinya.
Saat tiba hari persalinan, Mikha sudah siap dirumah sakit mengikuti saran dokter. Dokter melakukan persalinan sesuai prosedur dan aturan secara baik serta benar agar persalinan Mikha berhasil. Dan tak lama kemudian... Tangisan suara bayi terdengar. “Perempuan Bu.. cantik seperti Ibu..” Ucap suster yang membantu persalinan Mikha. Mikhapun hanya bersyukur tersenyum lega. Tapi tak lama persalinan selesai, Mikha cemas memikirkan apakah usahanya mencegah tranmisi penyakit keji itu berhasil atau tidak. Mikha merangkul bayinya dan menaruh dipelukannya tapi ia tidak bisa menyusui bayinya itu. Ia dilarang keras menyusui karena itu salah satu prosedur PMTCT.
Untuk melakukan pemeriksaan terhadap Raisa, putri Mikha harus menunggu diusia satu bulan. Setelah menunggu hingga satu bulan jika hasilnya positif dilakukan pemeriksaan ulang segera untuk konfirmasi sebelum diagnosis HIV dibuat dan jika hasilnya negatif dan bayi tidak menunjukkan gejala maka pemeriksaan diulang pada usia 4 bulan untuk benar-benar memastikan hasilnya negatif.
Tiap harinya, Rakha sekarang tidak merasa kesepian lagi. Anak lelakinya yang wajahnya mirip sekali seperti ayahnya ini, selalu menunjukan sikap semangat dan cerianya. Rakha juga sangat menyukai dan menyayangi Raisa, adiknya. Setiap hari Mikha dibantu ibunya untuk mengurus Rakha, dan Mikha dibantu suster mengurusi Raisa.
Usia Raisa sudah 4 bulan dua minggu. Semua tes terhadap Raisa akhirnya keluar, hasil pemerikasaan menunjukan benar-benar negatif, tidak ada terinfeksi HIV ditubuh raisa. Betapa bersyukur dan bahagianya Mikha mengetahui itu, usahanya tidak sia-sia. Tuhan masih menyayanginya. Sudah lama ia tidak merasa sebahagia ini. “Terima kasih Ya Allah.. Terima kasih...” hanya kalimat itu yang keluar dari bibirnya sambil meneteskan air mata harunya. Ibu Mikha ikut menangis bahagia lalu memeluk Mikha dan Raisa.
Sambil memandang dari balik jendela. Perlahan hujan deras seakan reda namun tetap menurunkan rintik kecilnya, menyambut senja dengan dikawani semilir angin yang menusuk sejuk membuat sore itu menjadi hari baru bagi Mikha, hari dimana Mikha akan memulai hidupnya dengan caranya sendiri. Yang menjadi tugasnya sekarang bagaimana ia mengurusi anak-anaknya terutama Rakha. Mengajarkan secara perlahan agar Rakha mengerti, jika suatu saat nanti ia bertanya “Mengapa Rakha berbeda? Mengapa rakha harus minum obat terus? Dan mungkin banyak lagi.” dan mungkin Rakha akan sulit menerima nantinya jika tau yang sebenarnya. Tetapi  meski begitu saat ini Mikha berusaha berjuang dan mulai belajar hidup normal kembali dengan melakukan banyak hal sambil terus mengonsumsi obat secara patuh agar penyakit tersebut tidak resisten. Mikha tau dirinya harus tetap maju dan tegar. Semakin Rakha besar ia harus mengatakan dengan bijak dan penuh kasih sayang terhadap anak laki-lakinya tersebut, mengajarkan bahwa Rakha masih bisa hidup normal seperti yang lainnya hanya saja harus minum obat secara teratur dan menjaga pola makan karena tidak bisa makan sembarangan atau pinggir jalan seperti pecel lele atau sate kambing.
Hidup menjadi ODHA banyak pantangannya, sayur mentah itu bisa bikin diare dan bakterinya kumpul. Kalau ODHA diare itu bisa bikin nilai CD4 nya turun dan lemas, karena tiap menit buang air dan enggak bisa ketahan, itu penyakit yang paling nyebelin buat ODHA. Jika ODHA mengalami diare maka ia tidak mempan mengonsumsi obat generik, ia harus minum obat paten.
Sekarang Rakha sudah kelas 3 SD, ia mulai sedikit mengerti mengenai penyakitnya, karena Mikha juga sering mengajak anaknya ke acara seminar-seminar. Sejak awal Rakha yang selalu diberikan obat ARV dengan cara digerus dan sirup, tapi sekarang ia sudah bisa minum obat sendiri. Iya.. Rakha memang pintar dan cukup memahami perkataan ibunya, bahkan Rakha sekarang yang sering mengingatkan Mikha “Ma  jangan lupa minum obat nanti resisten.” dan Rakha mulai tahu kalau resisten itu berarti obatnya sudah kebal. Setiap harinya Mikha harus mengonsumsi 4 obat secara teratur sedangkan anaknya 3 obat. Kini Mikha dan Rakha sudah terbiasa menjalani hidup sebagai ODHA......


                                                     TAMAT