A. Pengertian Toleransi
Toleransi berasal dari kata “ Tolerare ” yang
berasal dari bahasa latin yang berarti dengan sabar membiarkan sesuatu. Jadi
pengertian toleransi secara luas adalah suatu sikap atau perilakumanusia yang
tidak menyimpang dari aturan, dimana seseorang menghargai atau menghormati
setiap tindakan yang orang lain lakukan. Toleransi juga dapat dikatakan istilah
dalam konteks sosial budaya dan agama yang berarti sikap dan perbuatan yang
melarang adanya deskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak
dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat. Contohnya adalah toleransi
beragama dimana penganut mayoritas dalam suatu masyarakat mengizinkan
keberadaan agama-agama lainnya.
Dalam konteks toleransi antar-umat beragama, Islam
memiliki konsep yang jelas. “Tidak ada paksaan dalam agama” , “Bagi kalian
agama kalian, dan bagi kami agama kami” adalah contoh populer dari
toleransi dalam Islam. Selain ayat-ayat itu, banyak ayat lain yang tersebar di
berbagai Surah. Juga sejumlah hadis dan praktik toleransi dalam sejarah Islam.
Fakta-fakta historis itu menunjukkan bahwa masalah toleransi dalam Islam
bukanlah konsep asing. Toleransi adalah bagian integral dari Islam itu sendiri
yang detail-detailnya kemudian dirumuskan oleh para ulama dalam karya-karya
tafsir mereka. Kemudian rumusan-rumusan ini disempurnakan oleh para ulama dengan
pengayaan-pengayaan baru sehingga akhirnya menjadi praktik kesejarahan dalam
masyarakat Islam.
Menurut ajaran Islam, toleransi bukan saja
terhadap sesama manusia, tetapi juga terhadap alam semesta, binatang, dan
lingkungan hidup. Dengan makna toleransi yang luas semacam ini, maka
toleransi antar-umat beragama dalam Islam memperoleh perhatian penting dan
serius. Apalagi toleransi beragama adalah masalah yang menyangkut eksistensi
keyakinan manusia terhadap Allah.
Lalu, apa itu as-samahah
(toleransi)? Toleransi menurut Syekh Salim bin Hilali memiliki karakteristik
sebagai berikut, yaitu antara lain:
- Kerelaan hati karena kemuliaan dan kedermawanan
- Kelapangan dada karena kebersihan dan ketaqwaan
- Kelemah lembutan karena kemudahan
- Muka yang ceria karena kegembiraan
- Rendah diri dihadapan kaum muslimin bukan karena kehinaan
- Mudah dalam berhubungan sosial (mu'amalah) tanpa penipuan dan kelalaian
- Menggampangkan dalam berda'wah ke jalan Allah tanpa basa basi
- Terikat dan tunduk kepada agama Allah Subhanahu wa Ta'ala tanpa ada rasa keberatan.
Selanjutnya, menurut Salin al-Hilali karakteristik itu
merupakan [a] Inti Islam, [b] Seutama iman, dan [c] Puncak tertinggi budi
pekerti (akhlaq). Dalam konteks ini Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,
bersabda. Artinya: “Sebaik-baik orang adalah yang memiliki hati yang mahmum dan
lisan yang jujur, ditanyakan: Apa hati yang mahmum itu? Jawabnya : 'Adalah hati
yang bertaqwa, bersih tidak ada dosa, tidak ada sikap melampui batas dan tidak
ada rasa dengki'. Ditanyakan: Siapa lagi (yang lebih baik) setelah itu?.
Jawabnya : 'Orang-orang yang membenci dunia dan cinta akhirat'. Ditanyakan :
Siapa lagi setelah itu? Jawabnya : 'Seorang mukmin yang berbudi pekerti
luhur."
Dasar-dasar al-Sunnah (Hadis Nabi) tersebut
dikemukakan untuk menegaskan bahwa toleransi dalam Islam itu sangat
komprehensif dan serba-meliputi. Baik lahir maupun batin. Toleransi, karena
itu, tak akan tegak jika tidak lahir dari hati, dari dalam. Ini berarti
toleransi bukan saja memerlukan kesediaan ruang untuk menerima perbedaan,
tetapi juga memerlukan pengorbanan material maupun spiritual, lahir maupun
batin. Di sinilah, konsep Islam tentang toleransi (as-samahah) menjadi dasar
bagi umat Islam untuk melakukan mu’amalah (hablum minan nas) yang ditopang oleh
kaitan spiritual kokoh (hablum minallāh).
B. PRINSIP
UNIVERSAL TOLERANSI ANTARUMAT AGAMA
|
Prinsip-prinsip
toleransi agama ini, yang merupakan bagian dari visi teologi atau akidah,
telah dimiliki Islam, maka sudah selayaknya jika umat Islam turut serta aktif
untuk memperjuangkan visi-visi toleransinya di khalayak masyarakat plural.
Walaupun Islam telah memiliki konsep pluralisme dan kesamaan agama, maka hal
itu tak berarti para muballigh atau pendeta dan sebagainya berhenti untuk
mendakwahkan agamanya masing-masing. PERBEDAAN umat manusia, baik dari sisi
suku bangsa, warna kulit, bahasa, adat-istiadat, budaya, bahasa serta agama
dan sebagainya, merupakan fitrah dan sunnatullah yang sudah menjadi ketetapan
Tuhan SWT.
Landasan
dasar pemikiran ini adalah firman Tuhan SWT, "Hai manusia, sesungguhnya
Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi
Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" (QS. Al-Hujurat 13).
Toleransi
adalah sikap untuk dapat hidup bersama masyarakat penganut agama lain, dengan
memiliki kebebasan untuk menjalankan prinsip-prinsip keagamaan (ibadah)
masing-masing, tanpa adanya paksaan dan tekanan, baik untuk beribadah maupun
untuk tak beribadah, dari satu pihak ke pihak lain. Hal demikian, dalam
tingkat praktek-praktel sosial, dapat dimulai dari sikap-sikap bertetangga.
Karena toleransi yang paling hakiki adalah sikap kebersamaan antar penganut
keagamaan dalam praktek-praktek sosial, kehidupan bertetangga dan
bermasyarakat, serta bukan hanya sekedar pada tataran logika dan wacana.
Seorang
muslim yang sejati “atau tanda-tanda keimanan seseorang” , dalam sebuah
Hadits Nabi Muhammad SAW, adalah bagaimana dia bersikap kepada tetangga.
"Man Kأ¢na Yu'minu Billأ¢hi wal-Yawmil-أ¢khiri Fal-Yukrim Jأ¢rahu",
barang siapa yang beriman kepada Tuhan SWT dan Hari Akhir, maka hendaknya dia
memuliakan tetangganya.
Tidak ada
sama sekali dikotomi apakah tetangga itu seiman dengan kita atau tidak.
Dan tak
seorang pun berhak untuk memasuki permasalahan iman atau tak beriman. Ini
penting untuk diperhatikan, bahwa dikotomi seiman dan tak seiman sangat tidak
tepat untuk kita terapkan pada hal-hal yang memiliki dimensi humanistik.
Bahkan, ketika suatu saat Nabi Muhammad SAW hendak melarang seorang sahabat
untuk bersedekah kepada orang non-muslim yang sedang membutuhkan, Tuhan SWT
segera menegur beliau dengan menurunkan ayat, "Bukanlah kewajibanmu
menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah yang memberi petunjuk
(memberi taufiq) siap yang dikehendaki-Nya" (QS. 2 : 272).
C. Kerukunan
Antar Umat Beragama di Indonesia
Kerukunan
merupakan kebutuhan bersama yang tidak dapat dihindarkan di Tengah perbedaan.
Perbedaan yang ada bukan merupakan penghalang untuk hidup rukun dan
berdampingan dalam bingkai persaudaraan dan persatuan. Kesadaran akan
kerukunan hidup umat beragama yang harus bersifat Dinamis, Humanis dan
Demokratis, agar dapat ditransformasikan kepada masyarakat dikalangan bawah
sehingga, kerukunan tersebut tidak hanya dapat dirasakan/dinikmati oleh
kalangan-kalangan atas/orang kaya saja.
Karena,
Agama tidak bisa dengan dirinya sendiri dan dianggap dapat memecahkan semua
masalah. Agama hanya salah satu faktor dari kehidupan manusia. Mungkin faktor
yang paling penting dan mendasar karena memberikan sebuah arti dan tujuan
hidup. Tetapi sekarang kita mengetahui bahwa untuk mengerti lebih dalam
tentang agama perlu segi-segi lainnya, termasuk ilmu pengetahuan dan juga
filsafat. Yang paling mungkin adalah mendapatkan pengertian yang mendasar
dari agama-agama. Jadi, keterbukaan satu agama terhadap agama lain sangat
penting. Kalau kita masih mempunyai pandangan yang fanatik, bahwa hanya agama
kita sendiri saja yang paling benar, maka itu menjadi penghalang yang paling
berat dalam usaha memberikan sesuatu pandangan yang optimis. Namun ketika
kontak-kontak antaragama sering kali terjadi sejak tahun 1950-an, maka muncul
paradigma dan arah baru dalam pemikiran keagamaan. Orang tidak lagi bersikap
negatif dan apriori terhadap agama lain. Bahkan mulai muncul pengakuan
positif atas kebenaran agama lain yang pada gilirannya mendorong terjadinya
saling pengertian. Di masa lampau, kita berusaha menutup diri dari tradisi
agama lain dan menganggap agama selain agama kita sebagai lawan yang sesat
serta penuh kecurigaan terhadap berbagai aktivitas agama lain, maka sekarang
kita lebih mengedepankan sikap keterbukaan dan saling menghargai satu sama
lain.
Kendala-kendala
yang dihadapi dalam mencapai kerukunan umat beragama di Indonesia ada
beberapa sebab, antara lain;
Ø
Rendahnya Sikap Toleransi
Ø
Kepentingan Politik dan ;
Ø
SikapFanatisme
Adapun
solusi untuk menghadapinya, adalah dengan melakukan Dialog Antar
Pemeluk Agama dan menanamkan Sikap Optimis terhadap tujuan untuk mencapai
kerukunan antar umat beragama.
|